Penulis: Helvy Tiana Rosa
Terbit: Cetakan 1, April 2017
Penerbit: Asma Nadia Publishing House
ISBN: 978-602-9055-59-7
***
Pergi ke toko buku tanpa
ada rencana buku apa yang akan dibeli. Jadilah ketika memasuki Gramedia, yang
dilakukan hanyalah memandangi tumpukan lembaran-lembaran yang berisi kata. Sesekali
jika ada judul memikat hati, kusempatkan membaliknya untuk membaca sinopsis
yang tertera.
Begitu terus kuulang
hingga sampai pada satu rak. Terpampang satu nama yang tak asing, Helvy Tiana Rosa.
Cover buku menampilkan 4 tokoh utama
film yang berjudul sama dengan nama buku, Duka Sedalam Cinta.
Ah, sudah lama aku tidak
membaca puisi dan telah lama pula tidak menumpahkan rasa hati pada pusara
puisi. Maka cukuplah ini menjelma alasan untuk membawanya pulang. Meski tak
dipungkiri, kerinduan membaca karya penulis diam-diam menggerakkan ingin.
***
Sudahan, ah, nulis dengan
sok puitis. Semoga pembaca berkenan melanjutkan membaca review ini setelah
membaca tulisan di atas. :)
Buku Sedalam Cinta hadir
sebelum filmnya tayang di bioskop. Namun, apa daya sampai saat ini aku belum
menontonnya. Jika cerita film tersebut hampir sama dengan kelanjutan dari
cerpen Ketika Mas Gagah Pergi, maka aku sedikit bisa menduga-duga bagaimana
kisahnya. Kalaulah ada perbedaan, seharusnya aku segera menonton.
Kembali menyoal buku. Di sini
HTR mengumpulkan puisi-puisinya yang sesuai dengan judul. Jika hitunganku
tepat, terdapat 35 puisi karya penulis di dalamnya, plus puisi tamu dari
keempat bintang film, serta dari Salim A. Fillah.
Aku suka dengan penulis
yang menjadikan puisi seakan sebagai peran utama dalam beberapa. Sebut saja
Kamu Puisi, Di Jurang Puisi, Merayakan Kangen, Kenangan yang Benama, Pernyataan
tentang Puisi, Cinta Batu, Lelaki Puisi, Perempuan yang Bertahan dengan Puisi,
Sejak Sajak, dan Hujan Berpuisi.
Bertahun lalu aku temukan
puisi
memancar-mancar dari
matamu
masuk ke dalam tubuhku.
Seperti yang kau duga
pada akhirnya aku tahu
puisi tak pernah punya
rupa
Ia rasa yang menggenang
meluap di jemari kenangan
Kenangan bernama engkau
(Sepenggal puisi “Kenangan yang Benama”, hlm 12)
(Cinta selalu bekerja dengan cara rahasia
ketika saatnya tiba ia kirimkan padamu
getar tanpa sapa dan binar tanpa rencana)
Sepenggal puisi “Sejak
Sajak”, hlm 45
Selain itu, penulis juga
memasukkan karyanya untuk orang-orang terkasih. Seperti puisi “Begitu Indah
Cara Allah Mencintaimu” yang dicipta untuk Pepeng. Puisi “Untuk Tokoh-tokoh
Cerita dari Gumpalan Darahku” yang dipersembahkan pada keempat tokoh utama film
Duka Sedalam Cinta (Hamas Syahid, Aquino Umar, Masaji Wijayanto, dan Izzah
Ajrina).
Puisi “Perjumpaan Malam
itu dengan Kartini” yang didedikasikan untuk Kartini dan tokoh-tokoh perempuan
pejuang.
Lalu sayup kudengar lagi
suaramu dibawa angin
sampai jauh
: aku adalah hanya,
tercipta dari surat-surat lara
yang paling entah
aku lahir dari sejarah
yang dikebiri
(Sepenggal puisi “Perjumpaan
Malam itu dengan Kartini”, hlm 18)
Puisi tentang kemanusian
pun tak lupa penulis hadirkan untuk Suriah dan Palestina yang tertuang dalam “Tak
Ada Tahun Baru di Suriah” dan “Palestina, Inilah Indonesia Bersamamu!”
Bahkan aksi damai besar-besaran
yang sering kita lihat beritanya, juga diabadikan dalam puisi “Kisah Ibu dan
Sajak yang Menangis”. Dan ada beberapa tokoh serta peristiwa lain yang
menginspirasi penulis dalam karyanya.
Oya, tak lupa ada satu
puisi spesial yang penulis tulis di saat hari pertamanya mengenakan kerudung, 2
April 1988. Yang sudah menonton filmnya mungkin tak asing dengan isi puisinya
karena karya ini dijadikan soundtrack
yang dinyanyikan sang tokoh utama, Hamas Syahid. Judulnya Jalan yang Kupilih.
Seperti yang sudah
disinggung, dalam buku ini ada puisi tamu. Izzah Ajrina dengan Tabah Menawar
Duka, Aquino Umar dengan puisinya Sempurna dengan-Nya, Hamas Syahid Izzuddin yang
mengangkat tema sosial untuk Palentina dan Suriah dalam puisi Cemburu, Masaji
Wijayanto yang mencipta puisi Di Rumah Sakit. Terakhir, penulis kondang Salim A.
Fillah yang turut menyumbangkan karyanya berjudul Duka Sang Dipa Sedalam
Cintanya pada Negara.
Review ini akan aku akhiri
dengan salah satu penggalan puisi dalam buku.
Hujan belum berhenti
berpuisi
pilu mencari rinai rasa
yang dulu
Ia beri kunci ajaib
untuk membuka laci-laci
memori;
aku yang sekarat bersimbah
puisi,
dan kau yang tak pernah
peduli.
(Sepenggal puisi “Hujan
Berpuisi”, hlm 60)
No comments:
Post a Comment
Terima Kasih atas kunjungannya. ^_^
Dan mohon maaf untuk komentar yang menyertakan link akan dihapus.