Judul: Titian Pelangi
Penulis: Helvy Tiana Rosa
& Asma Nadia
Terbit: Cetakan III, Maret
2001
Tebal: 127 halaman
Sinopsis
Siapa bilang cerita cinta
itu picisan? Siapa bilang kisah kasih itu hanya bingkisan? Siapa bilang tembang
asmara itu cuma melenakan? Coba tengok cerita cinta yang terajut dalam Titian
Pelangi ini. Memang masih ada duka, tetapi duka yang bagaimana? Masih ada suka,
tetapi suka yang bagaimana? Masih ada derai tawa, tetapi derai yang bagaimana?
Semua terangkum dalam Titian Pelangi.
*
Aku membeli buku Titian
Pelangi karena penulisnya, Helvy Tiana Rosa (HTR). Meskipun bukan buku baru,
tapi melihatnya terpampang di salah satu toko online di facebook,
membuatku tak tahan untuk memilikinya. Buku terbitan Mizan ini ditulis HTR
dengan adik kandungnya, Asma Nadia. Terdapat 8 cerpen, yang mana masing-masing
menuliskan 4 judul.
Sewaktu menikmati cerpen pertama, aku kok merasa seperti sudah pernah membacanya. Begitupun dengan cerpen selanjutnya. Tapi, hal itu tak membuatku berhenti untuk menyelesaikan sampai akhir. Setelah cek dan ricek, ternyata judul buku Titian Pelangi itu terdapat dalam arsip perpustakaan kota Malang. Ohoo, pantesan. Hihi.
Sewaktu menikmati cerpen pertama, aku kok merasa seperti sudah pernah membacanya. Begitupun dengan cerpen selanjutnya. Tapi, hal itu tak membuatku berhenti untuk menyelesaikan sampai akhir. Setelah cek dan ricek, ternyata judul buku Titian Pelangi itu terdapat dalam arsip perpustakaan kota Malang. Ohoo, pantesan. Hihi.
Yuk, mari sekarang review
jalan ceritanya!
Helvy
Tiana Rosa
Terkadang seorang anak merasa bahwa perhatian yang diberikan orang tua terhadapnya itu terlalu berlebihan. Seperti yang dirasakan oleh Evi. Ia menganggap bahwa Maminya over perhatian. Mami yang masih saja sibuk memilihkan sepatu untuknya, padahal Evi sudah jadi anak kulihan. Mami yang selalu mengingatkan Evi dan kedua saudaranya tentang apa yang harus dilakukan sebelum tidur. Dan masih banyak lagi bentuk perhatian Mami yang membuat Evi tidak suka. Entah, itu suatu kelebihan atau kekurangan.
Terkadang seorang anak merasa bahwa perhatian yang diberikan orang tua terhadapnya itu terlalu berlebihan. Seperti yang dirasakan oleh Evi. Ia menganggap bahwa Maminya over perhatian. Mami yang masih saja sibuk memilihkan sepatu untuknya, padahal Evi sudah jadi anak kulihan. Mami yang selalu mengingatkan Evi dan kedua saudaranya tentang apa yang harus dilakukan sebelum tidur. Dan masih banyak lagi bentuk perhatian Mami yang membuat Evi tidak suka. Entah, itu suatu kelebihan atau kekurangan.
“Ya, ada satu hal yang tak
kusuka dari Mami. Aku sendiri bingung, apakah hal yang tak kusuka itu merupkan
kelebihan atau kekurangan Mami. Mami tuh terlalu care padaku, juga
kepada adikku. Karena sikap beliau itu aku sering merasa diperlakukan seperti
anak kecil.” (Mami, halaman 8)
Evi baru menyadari bahwa
apa yang dilakukan Mami adalah bentuk kasih sayangnya, setelah beliau sakit
selama seminggu. Ia merindukan teguran yang biasa ia dapatkan. Ah, mungkin kita
termasuk deretan Evi lain, yang kesal terhadap orangtua karena sikap mereka. Sebelum
terlambat, coba renungkan. Setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik
buat anak-anaknya, bukan? Dan hal itu terwujud dari sikap serta perhatian
mereka, yang sering kita anggap berlebihan.
Cerpen kedua dalam buku
Titian Pelangi berjudul antara Tia dan Yudi. Tia, seorang anak kosan yang
merasa terganggu dengan aktivitas tetangganya bernama Yudi yang sering nyanyi,
ketawa-ketiwi bersama teman-temannya. Tak hanya itu, bahkan Yudi mencoba untuk
mendekati Tia. Usut punya usut, di akhir kisah dijelaskan, bahwa Tia itu mirip
dengan adik Yudi yang sudah meninggal karena Kanker.
Di akhir cerita, Yudi mengalami
kecelakaan saat menolong Tia. Terus terang, aku kok merasa kebetulan yang
disengaja. Entahlah, meskipun dari segi pesan cerpen ini sangat bagus, tapi aku
kurang sreg aja dengan pertemuan antara Tia dan Yudi yang sering secara
kebetulan. Satu lagi, tidak dijelaskan cerita di balik perubahan Yudi. Apa yang
membuatnya ingin berubah dari anak metal menjadi seorang yang ingin dipanggil
akhi.
Untuk cerita ketiga yang
berjudul Titian Pelangi, dijadikan sebagai nama buku. Dari cerita ini, kita
belajar ketabahan seorang Ita menghadapi cobaan demi cobaan dalam hidupnya.
Diawali dengan meninggalnya tulung punggung keluarga karena mengalami
kecelakaan saat menarik angkot. Ditambah, Ical, kakaknya yang kala itu menjadi
kernet mengalami kritis. Tentunya, dibutuhkan uang yang tak sedikit untuk
pengobatannya.
Beruntung Ita memiliki
sahabat bernama Evi yang selalu siap membantu. Evi tidak hanya menolong dalam
hal materi, tapi juga tenaga. Dengan senang hati ia ikut berjualan bersama Ita
dan adik-adiknya menjelang berbuka. Kebetulan setting waktu dari cerita
ini adalah bulan ramadhan.
Masih dalam keadaan
berkabung, ujian kedua menghampiri Ita. Ical menyusul ayahnya, dipanggil Allah.
Evi bercerita tentang apa yang dialami Ita pada keluarganya. Bahkan selama
seminggu topik yang selalu dibahas adalah tentang Ita. Hal ini membuat Ayah,
Ibu, dan saudaranya bernama Deny nampak sedikit terganggu. Beda dengan Irvan,
saudara Evi yang lain. Irvan mengerti sikap Evi adalah wujud dari ukhuwah.
Tapi, ia mengingatkan adiknya bahwa masih banyak hal lain yang harus
dipikirkan.
Ujian yang dialami
keluarga Ita berlanjut. Kompleks perumahan tempat Ita tinggal, hangus terbakar.
Evi dan kakaknya, Irvan, datang ke lokasi kejadian. Mereka mendapati kabar
bahwa adik bungsu Ita menjadi salah satu korban yang meninggal. Ita begitu
sabar menghadapi ujian demi ujian. Sampai pada akhirnya, ujian itu pun
mengantarnya pada suatu nikmat. Ia dilamar oleh Irvan. Dan inilah pernyataan
Ita sewaktu dilamar.
“Rabbi, patutkah aku
menerima nikmat yang begini besar yang Engkau berikan kepadaku, setelah begitu
banyak nikmat yang telah Engkau berikan?” (Titian Pelangi, halaman 55)
Tulisan terakhir Helvi
Tiana Rosa dalam buku Titian Pelangi adalah Pendekar Jilbab. Ceritanya tentang
seorang muslimah yang jago karate. Dengan kemampuannya itu, ia bisa membekuk
perampok yang beraksi di dalam angkot.
Asma
Nadia
Nah, sekarang mari
lanjutkan dengan tulisan dari Asma Nadia yang diawali dengan Keping Duka. Saat
membaca cerita ini, aku teringat dengan kisah seorang ibu pada zaman Umar bin Khattab.
Ibu tersebut memasak batu demi menghibur anak-anaknya yang sedang kelaparan.
Maksud si ibu melakukan itu agar mereka berfikir bahwa sebentar lagi akan ada
makanan yang dilahap.
Meskipun cukup berbeda,
namun cerita yang diangkat di sini, sama-sama tentang seorang ibu dengan ketiga
anaknya yang sedang kelaparan. Ibu itu sedang mengantri pembagian makanan. Saat
tiba gilirannya, ia mendapati bahwa anak terakhir yang digendongannya sudah
meninggal. Setting tempat cerita ini di Somalia yang sedang mengalami
peperangan.
Dari cerita seorang ibu
bernama Badriyah di Keping Duka, kita diingatkan tentang bagaimana seharusnya
menghadapi ujian. Di saat merasa lelah dalam antrian, ia teringat kesabaran
Nabi Ayyub yang menikmati sakit berkepanjangan tanpa keluh kesah. Ia juga
menganggap bahwa panas yang sedang ia rasakan selama mengantri adalah bentu
latihan. Iya, latihan menghadapi yaumul mashar, di mana segala bentuk
panas di dunia menjadi kehilangan arti.
Setelah Keping Duka, mari
kita beralih ke Catatan Seorang Feminis. Terus terang, aku kurang mengerti inti
dari cerita ini. Alurnya mundur maju. Ya, setting waktunya dimulai masih
zaman penjajahan tahun 1885 dari catatan seorang perempuan bernama Stella. Ia
yang menginginkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ia memuntut kebebasan.
Bahkan, ia menganggap bahwa pernikahan adalah bentuk penindasan seumur hidup.
Akhirnya, ia menjalani
hidup dengan beberapa laki-laki tanpa mau terikat dengan kata pernikahan. Itu
merupakan bentuk kemenangan yang ia rasakan. Namun sayang, di hari tuanya, ia menderita
penyakit yang sudah masuk stadium 4. Ia menyesali keyakinannya selama ini.
Karena di masa tua, ia tidak punya siapa-siapa selain penyakit. Ia teringat
dengan temannya yang menikmati masa tua bersama anak dan cucu.
Begitulah isi Catatan
Harian Stella, yang berakhir dengan penyesalan. Catatan terakhir ditulis 9 Juni
1934. Catatan itu dibaca oleh Angga pada tahun 27 April 1998. Angga menemukan
catatan Stella di ruang bawah tanah, di rumah yang baru dibeli keluarganya.
Pertanyaannya, berapa tahun ya, jarak dari 1934 ke 1998? Hehe. Eih, kalau dilihat
dari tahun dibuatnya cerpen masih 1994, loh.
Abaikan dulu mengenai
tahun! Mari kembali lagi ke topik tentang emansipasi wanita. Di akhir cerita,
disinggung mengenai sosok Kartini. Angga, orang yang membaca Catatan Harian
Stella, kali ini sedang menikmati kumpulan surat Kartini dalam Tragedi Kartini,
Sebuah Pertarungan Ideologi. Dalam narasinya, Angga seakan bertanya pada diri
sendiri.
“Benarkah banyak orang
yang telah salah mengartikan apa yang diinginkan Kartini? Bahwa ia bukan
seorang feminis, atau penjuang emansipasi. Bahwa apa yang dicita-citakan beliau
adalah hal yang sewajarnya bagi kaum wanita sendiri, tanpa berpaling dari
kodrat. Dan bahwa semua itu telah lama dicetuskan dalam ajaran islam beratus
abad yang lalu.” (Catatan Seorang Feminis, halaman 92)
Ceritanya ditutup dengan
Angga yang kembali menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya. Apa itu?
Entahlah. Btw, aku kira Angga itu laki-laki, loh.
Selanjutnya, cerita
tentang Mang Agil yang mengalami stres. Konon katanya, ia menjadi mahasiswa terbaik
dalam akademis. Tapi, entah kenapa, di tingkat akhir nialainya anjlok. Dan hal
itu membuat ia di-DO. Karena tidak bisa menerima keadaan, jadilah pikirannya menjadi
miring.
Mang Agil sering
mengganggu orang-orang kompleks sambil ngomel-ngomel sendiri. Tyas yang
kebetulan ngekost di komplek tersebut, juga turut merasakan dampak tingkah Mang
Agil. Bahkan, ada satu waktu, ia dan teman-temannya lupa mengunci pintu depan.
Akhirnya mereka kecolongan, Mang Agil
masuk ke kosan mereka.
Cerita Mang Agil beda
sendiri dibandingkan dengan yang lain. Cerita paling kocak. Aku senyam-senyum saat
membacanya. Apalagi pas bagian Tyas serta kawan-kawannya yang sedang mengusir
Mang Agil dari kosan mereka.
Cerita dalam buku Titian
Pelangi ditutup dengan judul Tarmonah. Tarmonah adalah nama seorang anak yang
memiliki fisik buruk. Karena hal itu, ia dijauhi oleh orang-orang. Ia merasa
Gusti Allah membencinya. Ya, apa yang terjadi padanya adalah bukti bahwa Allah
membecinya. Itulah yang ada dalam pikiran Tarmonah.
Ia menjadi sebatang kara
setelah Emak, satu-satunya orang yang selama ini bisa menerimanya, pergi untuk
selama-lamanya. Tarmonah pergi ke Jakarta atas bantuan Pak Suminten, lintah
darat di kampungnya. Di Jakarta, Tarmonah bekerja menjadi pembantu. Tapi, baru
sehari sampai, ia diusir.
Tarmonah kemudian
bergabung dengan para pemulung. Teman-teman barunya itu mau menerima Tarmonah.
Mereka tidak jijik dengan kondisi fisiknya. Ia pun mulai merasa menang melawan
Tuhan. Sampai ada satu kejadian yang merubah pikirannya tersebut.
Ada sekumpulan laki-laki
yang mengganggu Tarmonah dan pemulung lain. Para lelaki itu berusaha memperkosa mereka.
Ketika ada pantulan cahaya bulan menerangi wajah Tarmonah, lekaki yang nyaris memperkosa
justru kabur. Lelaki itu ketakutan melihat wajah Tarmonah.
Malam itu, para pemulung
terselamatkan karena kondisi fisik Tarmonah yang sudah bikin penjahat
ketakutan. Tarmonah dielu-elukan oleh teman-temannya. Selain itu, ia juga
dicium dan dipeluk. Selain Emak, tidak ada yang melakukan hal itu pada
Tarmonah.
Dari kejadian malam itu,
Tarmonah pun tersadar bahwa Gusti Allah tidak membencinya, tapi justru sayang
padanya.
“Pada akhirnya Tarmonah
menemukan jawaban mengapa ia ditakdirkan sejelek itu, seburuk itu. . . . untuk
jadi pahlawan Repornasi” (Tarmonah, halaman 123)
Plesetan kata pada kalimat
terakhir di atas, membuatku tak bisa menahan senyum. Hihi. Dari cepern ini,
kita belajar bahwa segala penciptaan, atau kejadian dalam kehidupan kita, tentu
ada hal baik yang sudah Allah persiapkan. Kalau kita merasa ada yang salah
dengan semua itu, mungkin saja kita belum menyadari, betapa Allah Maha tahu
yang terbaik buat hambanya. “Renungkan ayat 216 dari surah Al - Baqarah.”
Kekurangan dan kelebihan
ReplyDelete